CONTOH KRITIK SASTRA
Capaian Eksperimen Novel Lelaki Harimau
Maman Mahayana
Setelah sukses dengan Cantik itu
Luka (Yogyakarta: AKY, 2002; Jakarta
Gramedia, 2004) yang memancing berbagai tanggapan, kini Eka Kurniawan menghadirkan kembali karyanya, Lelaki Harimau
(Gramedia, 2004; 192 halaman). Sebuah
novel yang juga masih memendam semangat eksperimen. Berbeda dengan Cantik itu
Luka yang mengandalkan kekuatan narasi
yang seperti lepas kendali dan deras menerjang apa saja, Lelaki
Harimau memperlihatkan penguasaan diri
narator yang dingin terkendali, penuh
pertimbangan, dan kehati-hatian.
Pemanfaatan –atau lebih tepat eksplorasi–setiap kata dan
kalimat tampak begitu cermat dalam
usahanya merangkai setiap peristiwa. Eka seperti hendak menunjukkan dirinya sebagai ”eksperimental”
yang sukses bukan lantaran faktor
kebetulan. Ada kesungguhan yang luar biasa dalam menata setiap peristiwa dan kemudian mengelindankannya
menjadi struktur cerita. Di balik itu,
tampak pula adanya semacam kekhawatiran untuk tidak melakukan kelalaian yang
tidak perlu. Di sinilah Lelaki Harimau menunjukkan jati dirinya sebagai sebuah novel yang tidak sekadar
mengandalkan kemampuan bercerita, tetapi
juga semangat eksploratif yang mungkin dilakukan dengan memanfaatkan berbagai
sarana komunikasi kesastraan. Ia lalu menyelusupkannya ke dalam segenap unsur intrinsik novel bersangkutan.
***
Mencermati perkembangan
kepengarangan Eka Kurniawan, kekuatan
narasi itu sesungguhnya sudah tampak dalam Coret-Coret di Toilet
(Yogyakarta: Yayasan Aksara Indonesia,
2000), sebuah antologi cerpen yang mengusung
berbagai tema. Dalam antologi itu, Eka terkesan bercerita lepas-ringan,
meski di dalamnya banyak kisah tentang konteks sosial zamannya. Di sana, ia tampak masih mencari bentuk. Belakangan, cerpennya
”Bau Busuk” (Jurnal Cerpen, No. 1, 2002)
cukup mengagetkan dengan eksperimennya. Dengan hanya mengandalkan sebuah alinea dan 21 kalimat,
Eka bercerita tentang sebuah tragedi pembantaian yang terjadi di negeri
antah-berantah (Halimunda). Di negeri itu, mayat tak beda dengan sampah.
Pembantaian bisa jadi berita penting,
bisa juga tak penting, sebab esok akan diganti berita lain atau hilang begitu saja, seperti yang terjadi di negeri
ini.
Meski narasi yang meminimalisasi
kalimat itu, sebelumnya pernah dilakukan
Mangunwijaya dalam Durga Umayi (Jakarta: Grafi ti, 1991) yang hanya menggunakan 280 kalimat untuk novel
setebal 185 halaman, Eka dalam Lelaki
Harimau seperti menemukan caranya sendiri yang lebih cair. Di sana, ada semacam kompromi antara semangat
eksperimen dengan hasratnya untuk tidak
terlalu memberi beban berat bagi pembaca. Maka, rangkaian kalimat panjang yang melelahkan itu, diolah dalam
kemasan yang lain sebagai alat untuk
membangun peristiwa. Wujudlah rangkaian peristiwa dalam kalimat-kalimat yang
tidak menjalar jauh berkepanjangan ke sana ke mari, tetapi cukup dengan penghadiran dua sampai empat
peristiwa berikut berbagai macam
latarnya.
Cara ini ternyata cukup efektif.
Lelaki Harimau, di satu pihak berhasil
membangun setiap peristiwa melalui rangkaian kalimat yang juga sudah
berperistiwa, dan di lain pihak, ia tak kehilangan pesona narasinya yang
mengalir dan berkelak-kelok. Dengan begitu, kalimat-kalimat itu sendiri
sesungguhnya sudah dapat berdiri sebagai peristiwa. Cermati saja sebagian besar
rangkaian kalimat dalam novel itu. Di sana–sejak awal–kita akan menjumpai lebih
dari dua atau tiga peristiwa yang seperti sengaja dihadirkan untuk membangun
suasanan peristiwa itu sendiri.
Tentu saja, cara ini bukan tanpa
risiko. Rangkaian peristiwa yang membangun alur cerita, jadinya terasa agak
lambat. Ia juga boleh jadi akan mendatangkan masalah bagi pembaca yang tak
biasa menikmati kalimat panjang. Oleh karena itu, berhadapan dengan novel model
ini, kita (: pembaca) mesti memulainya tanpa prasangka dan menghindar dari
jejalan pikiran yang berpretensi pada sejumlah horison harapan. Bukankah banyak
pula novel kanon yang peristiwa-peristiwa awalnya dibangun melalui narasi yang
lambat? Jadi, apa yang dilakukan Eka sesungguhnya sudah sangat lazim dilakukan
para novelis besar.
Secara tematik, Lelaki Harimau
tidaklah mengusung tema besar, pemikiran
filsafat, atau fakta historis. Ia berkisah tentang kehidupan masyarakat
di sebuah desa kecil. Dalam komunitas
itu, hubungan antarsesama, interaksi antarwarga, bisa begitu akrab, bahkan
sangat akrab.
Perhatikan kalimat pertama yang
mengawali kisahan novel ini. ”Senja ketika Margio membunuh Anwar Sadat, Kyai
Jahro tengah masyuk dengan ikan-ikan di kolamnya, ditemani aroma asin yang
terbang di antara batang kelapa, dan bunyi falseto laut, dan badai jinak
merangkak di antara ganggang, dadap, dan semak lantana.” (hlm. 1). Peristiwa
apa yang melatarbelakangi pembunuhan itu dan bagaimana duduk perkaranya? Jawabannya
terungkap justru pada bagian akhir novel ini. Jadi, peristiwa di bagian awal,
sebenarnya kelanjutan dari peristiwa yang terjadi di bagian akhir saat Margio
meminta Anwar Sadat untuk mengawini ibunya (hlm. 192).
Itulah salah satu keunikan novel
ini. Eka melanjutkan kalimat pertama itu tidak pada peristiwa pembunuhan yang
dilakukan Margio, tetapi pada diri tokoh Kyai Jahro. Mulailah ia berkisah
tentang kyai itu. Lalu, dari sana muncul pula tokoh Mayor Sadrah. Ia pun
bercerita tentang tokoh itu. Begitulah, pencerita seperti sengaja tidak
membiarkan dirinya berdiri terpaku pada satu titik. Ia menyoroti satu tokoh dan
kemudian secara perlahan beralih ke tokoh lain. Di antara rangkaian peristiwa
yang dibangun dan dihidupkan oleh setiap tokohnya, menyelusup pula mitos
tentang manusia harimau, potret bersahaja masyarakat pinggiran, dan keakraban
kehidupan mereka. Sebuah pesona yang disampaikan lewat narasi yang rancak yang
seperti menyihir pembaca untuk terus mengikuti kelak-kelok peristiwa yang
dihadirkannya.
Dalam hal itu, kedudukan
pencerita seperti sebuah kamera yang terus bergerak merayap dari satu tokoh ke
tokoh lain, dari satu peristiwa ke peristiwa lain. Akibatnya, peristiwa yang
dihadirkan di awal: Senja ketika Margio membunuh Anwar Sadat, … seperti timbul-tenggelam
mengikuti pergerakan tokoh-tokohnya. Seperti seseorang yang masuk sebuah lorong
berbentuk spiral. Ia terus menggelinding perlahan mengikuti ke mana pun arah
lorong itu menuju. Ketika muncul di permukaan, ia sadar bahwa ternyata ia masih
berada di tempat semula; di seputar ketika ia mulai masuk lorong itu.
Dalam konteks perjalanan novel
Indonesia, pola alur seperti itu pernah digunakan Achdiat Karta Mihardja dalam
Atheis (1949), meski dihadirkan untuk membingkai biografi tokoh Hasan. Putu
Wijaya dalam Stasiun membangunnya untuk mengeksplorasi pikiran-pikiran si
tokoh. Akan tetapi, dalam Dag-Dig-Dug, Putu Wijaya menggunakannya agak lain.
Akhir cerita yang seperti mengulangi kembali peristiwa awal, dirangkaikan lewat
dialogdialog antartokoh mengingat karya itu berupa naskah drama. Iwan
Simatupang dalam Kering dan Koong, menutup peristiwa akhir dengan mengembalikan
kesadaran si tokoh sebagai akibat yang terjadi pada peristiwa awal. Tampak di
sini, bahwa pola spiral sesungguhnya bukanlah hal yang baru sama sekali.
Meskipun begitu, Lelaki Harimau,
dilihat dari sudut itu, tetap saja menghadirkan kekhasannya sendiri. Selain
pola alur yang demikian, Eka menggunakan kalimat-kalimat itu sebagai pintu
masuk menghadirkan rangkaian peristiwa. Dengan demikian kalimat tidak hanya
bertindak sebagai fondasi bagi pencerita untuk membangun peristiwa, juga
sebagai pilar penyangga bagi peralihan peristiwa satu ke peristiwa lain melalui
pergantian fokus cerita (focus of narration) dari tokoh yang satu ke tokoh yang
lain. Dalam hal ini, Lelaki Harimau telah menunjukkan keunikannya sendiri.
Hal lain yang juga ditampilkan
Eka dalam novel ini menyangkut cara bertuturnya yang agak janggal, tetapi benar
secara semantis. Ia banyak menghadirkan metafora yang terasa agak aneh, tetapi
tidak menyalahi makna semantisnya. Kadang kala muncul di sana-sini pola kalimat
yang mengingatkan kita pada style penulis Melayu Tionghoa. Di bagian lain,
berhamburan pula analogi atau idiom yang tidak lazim, tetapi justru terasa
segar sebagai sebuah usaha melakukan eksplorasi bahasa. Dalam hal ini, bahasa
Indonesia dalam novel ini jadi terasa sangat kaya dengan ungkapan, idiom,
metafora, dan analogi.
Dalam beberapa hal, Lelaki
Harimau harus diakui, berhasil memperlihatkan sejumlah capaian. Ia menjelma
tidak sekadar mengandalkan imajinasi, tetapi juga bertumpu lewat proses
berpikir dan tindak eksploratif kalimat dengan berbagai kemungkinannya.
Peristiwa perselingkuhan Nuraeni-Anwar Sadat pun, terasa sebagai kisah yang
eksotis (hlm. 133-142); prosesi penguburan Komar bin Syueb, ayah Margio (hlm.
168-171), menjadi kisah yang di sana-sini menghadirkan kelucuan. Eka seperti
sengaja memporakporandakan struktur kalimat yang klise, dan sekaligus
menyodorkan pola yang terasa lebih segar, agak janggal dan terkadang lucu.
Lelaki Harimau, tak pelak lagi, tampil sebagai novel dengan kategori: cerdas!
Sumber: http://ekakurniawan.net/blog/capaian-eksperimentasi-novel-lelaki-harimau43.php#more-43.
Internet:
https://ajidwipratikno.blogspot.com/
https://www.facebook.com/AJIDWIBAHASAINDONESIA
SNACK VIDEO:
https://sck.io/MYGhBmdB
Tiktok: https://vt.tiktok.com/ZGJUqT9Dx
Kegagalan hanya dibuat oleh mereka yang gagal untuk berani, bukan oleh mereka yang berani gagal.
BalasHapusJangan pernah meminta orang lain menghargai kita, tapi buat diri kita jadi orang yg bernilai, menghargai & pantas untuk dihargai.
BalasHapusJika seseorang tak bisa mengendalikan binatang ini, ia bisa begitu ganasnya hingga tak ada apa pun bisa menahannya jika ia mengamuk.
BalasHapusLihat ke atas agar terinspirasi, lihat ke bawah agar bersyukur
BalasHapus
BalasHapusSefa Tri Marlina (12 IPS 4)
Jangan malas untuk belajar karena ilmu adalah harta yang bisa kita bawa ke mana pun tanpa membebani kita.
BalasHapusMulailah setiap harimu dengan pikiran positif dan hati yang bersyukur.
Jangan mengharapkan semuanya bisa jadi lebih mudah, berharaplah agar dirimu bisa jadi lebih baik.
BalasHapus" "
BalasHapusBerlarilah ketika kamu bisa, berjalan jika harus, merangkak jika perlu, jangan pernah menyerah."
Kendalikan emosi kita, jangan sampai emosi kita yang mengendalikan kita
BalasHapusTak perlu memilih dengan siapa kita mau berbuat baik,tapi banyaklah berbuat baik.Biarkan allah saja yang menilai setiap kebaikan yang kita buat
BalasHapusKemajuan hanya terjadi diluar zona nyaman.
BalasHapusNur wahyu Astuti
BalasHapusKegagalan awal dari kesuksesan
Di mana ada penyesalan,disitulah ada perubahan!
BalasHapusBelajar ikhlas,bukan berarti lemah,tapi lebih kepada belajar lebih dewasa mengendalikan ego dan amarah.
BalasHapus
BalasHapusJangan menyerah lakukan hal baik yang kamu bisa tanpa melihat omongan orang lain
Wanda Yuanita (XII MIPA 2)
BalasHapusBelajarlah dari hari ini agar bisa menjadi lebih baik di hari esok.
"sukses tampaknya terkait dengan tindakan. orang sukses terus bergerak. mereka membuat kesalahan, tetapi mereka tidak berhenti"
BalasHapus-rinas tiawati (xii mipa 2)
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKau dilahirkan untuk menjadi nyata,bukan sempurna.
BalasHapusJangan berhenti ketika lelah. Berhentilah ketika selesai.
BalasHapusTetap semangat, pasrahkan saja pada Allah
BalasHapusCica Nofita (XII MIPA 2)
Ayika Nur Zamania Pasha (XII MIPA 2)
BalasHapusGagal itu urusan nanti yang terpenting kita terus berusaha mencoba dan mencoba
bukan gagal yang bikin kita takut tapi takut yang bikin kita gagal
BalasHapusNaeli Ma'rifah (XII MIPA 2)
Jangan takut untuk berkarya, kemampuan seseorang tidak dapat diketahui jika hanya diam saja.
BalasHapusJangan berharap kepada manusia karena itu adalah seni patah hati yang disengaja
BalasHapusAnisa bela (XII MIPA 1)
Anisa Bela (XII MIPA 2)
Hapus
BalasHapusJangan menyerah walau sudah kalah.
Tidak ada seorang pun yang sukses tanpa melalui proses. Kamu akan berhasil pada zona waktumu sendiri, begitu pula mereka.
BalasHapus
BalasHapusJangan biarkan kritik mematahkan semangat. Justru dengan kritik, kita bisa selalu belajar dan siap menghadapi masalah.