Hikayat Bayan Budiman
Alkisah, hiduplah saudagar bernama Khoja Maimun. Suatu hari,
ia pergi ke pasar untuk membeli seekor burung. Tujuannya membeli burung
bukanlah untuk dijual, melainkan untuk dibebaskan. Ia tak tega melihat burung
terkurung di dalam sangkar. Karena itu, setelah membeli seekor burung, ia lalu
melepaskannya begitu saja.
“Terbanglah dengan tinggi. Tempatmu bukanlah di dalam
sangkar,” ungkap Maimun pada burung yang baru saja dibelinya tersebut.
Namun, burung itu tidak terbang tinggi. Ia malah terbang
mengikuti Maimun. Hal tersebut tentu membuatnya keheranan. “Kenapa kau
mengikutiku? Kau bebas sekarang, Terbanglah yang tinggi supaya tak ada orang
yang menangkapmu lagi,” ujar Khoja Maimun.
Burung tersebut pun terbang tinggi dan meninggalkan Maimun.
Saudagar ini lalu melanjutkan perjalanannya menuju ke rumahnya. Sesampainya di
rumah, ia terkejut dengan suara yang menyambutnya, “Assalamualaikum, Tuan.”
Ia melihat sekelilingnya, tapi tak ada satu pun orang di
sana. “Lalu, siapakah yang mengucapkan salam padaku?” tanyanya dalam hati.
“Assalamualaikum, Tuan,” suara itu kembali terdengar. Saat
mencari tahu sumber suara, ia terkejut karena burung yang tadi ia beli telah
bertengger pada pohon di pekarangan rumahnya.
Maimun semakin terkejut karena burung tersebutlah yang ternyata
menyapanya. “Maafkan hamba, karena telah mengejutkan Tuan. Perkenalkan, nama
hamba adalah Bayan,” ucap burung tersebut.
“Hai, Bayan. Aku senang berkenalan denganmu. Akan tetapi,
bukankah aku sudah melepaskan dan menyuruhmu terbang bebas? Lalu, mengapa kau
kemari?” tanya saudagar itu keheranan.
“Izinkan hamba mengabdi padamu, Tuan. Hamba sangat
berterimakasih karena Tuan telah membebaskan hamba.” ucap burung tersebut.
Khoja Maimun tersenyum sambil membelai kepala burung
tersebut. Ia terharu dan mengabulkan permintaannya. “Baiklah, kau boleh tinggal
bersamaku, aku kan merawatmu,” ucap Maimun.
Ia lalu membawa masuk Bayan dan memperkenalkannya pada sang
istri, Zainab. Istrinya tampak keheranan melihat burung yang dibawa suaminya
bisa berbicara. Meski begitu, ia dengan senang hati menyambut Bayan.
Saudagar Pergi Berlayar
Suatu hari, Khoja Maimun bersiap-siap pergi berlayar. Ia
hendak menjual barang dagangannya ke Yaman. Ia sepertinya bakalan tinggal di
Yaman untuk waktu yang lama karena barang dagangannya cukup banyak.
Keesokan harinya, ia berpamitan pada Zainab dan Bayan.
Kepada burung itu, ia menitipkan pesan, “Bayan, aku hendak pergi ke suatu
negeri yang sangat jauh. Kepergianku juga cukup lama. Untuk itu, aku mohon
jagalah istriku dengan baik. Temani dia,” pinta Khoja Maimun.
Bayan merasa sangat senang mendapat tugas dari tuannya. Ia
kan menjaga amanat dengan baik. Dengan begitu, ia dapat membalas kebaikan Khoja
Maimun. “Baiklah, Tuan. Aku kan menjaganya. Semoga Tuan selamat sampai tujuan,”
ujar burung itu.
Setelah berpamitan, pergilah Maimun menuju Yaman. Kini,
tinggallah Zainab seorang diri ditemani burung Bayan. Mereka berdua kerap
mengobrol. Tak jarang, burung itu menceritakan kisah-kisah yang menarik.
Pada suatu hari, kampung tempat tinggal Maimun kedatangan
iring-iringan berkuda dari istana kerajaan. Ternyata, putra mahkota kerajaan
beserta para abdi sedang melintasi perkampungan mereka. Para warga menyambutnya
dengan suka cita.
Karena penasaran, Zainab pun turut menyaksikan sang putra
mahkota. Tanpa sengaja, putra raja itu juga melihat paras Zainab. Hati sang
pangeran pun berdegup kencang. Ia terpesona dengan kecantikan Zainab.
Setelah melewati kampung itu, para rombongan istana kerajaan
berhenti di sebuah tempat dan mendirikan tenda. Namun, malam ini wajah pangeran
tampak murung. “Mengapa tuan terlihat murung?” tanya salah satu dayang istana.
“Tidak mengapa, kepalaku hanya sedikit pusing,” jawab
pangeran itu. Ternyata, pangeran tak bisa berhenti memikirkan wajah cantik
Zaenab. Ia sangat ingin menemui wanita yang menarik hatinya itu.
Pangeran Berkenalan dengan Zainab
Ketika pagi datang, pangeran bergegas bangun. Ia ingin
bertemu Zainab karena semalaman tak bisa berhenti memikirkannya. Ia kan
mencarinya lagi dan ingin berkenalan dengannya. Maka, didatangilah kampung
tersebut.
Setelah mencari tahu, putra mahkota akhirnya berhasil
menemukan rumah Zainab. Ditemani salah satu dayangnya, mereka menghampiri rumah
tersebut. Saat mendapati putra mahkota mendatangi rumahnya, Zainab sangat
terkejut.
“Maaf, Tuan, ada urusan apa engkau menyambangi rumah hamba?”
ujar wanita cantik itu dengan gugup.
Putra mahkota pun tersenyum, “Seharusnya aku yang meminta
maaf karena tiba-tiba datang ke rumahmu. Aku hanya ingin mengutarakan
perasaanku. Sejak pertama bertemu, aku merasa jatuh hati padamu. Maukah kau
menerima perasaanku?”.
Istri Khoja Maimun terkejut mendengar pernyataan sang
pangeran. Di sisi lain, ia merasa tertarik dengan ketampanan putra mahkota. Ia
pun menjawab, “Maafkan hamba, Tuan, Hamba sudah bersuami. Ia sedang pergi
berlayar. Sehingga, hamba tak layak menerima cinta, Tuan.”
Putra Mahkota merasa kecewa dengan jawaban Zainab. Meski
begitu, ia tetap tersenyum seraya berkata, “Maafkan aku telah lancang. Aku tak
tahu bila kau telah bersuami.” Ia lalu meninggalkan Zainab dengan raut wajah
sedih.
Setelah ditinggalkan sang pangeran, Zainab terus-terusan
melamun. Dalam hati ia bertanya, “Kenapa pangeran setampan itu bisa jatuh hati
padaku? Padahal di luar sana masih banyak yang jauh lebih cantik dariku.”
Melihat Zainab melamun, Bayan pun mengejutkannya. “Tuanku,
tak perlu kau pikirkan pria itu. Bisa saja ia sudah beristri atau memiliki
pasangan. Tuan juga telah memiliki suami. Allah akan murka bila engkau menuruti
permintaan sang pangeran.” ucap burung itu menyadarkan lamunan istri Khoja
Maimun.
Setelah mendengar nasihat Bayan, Zainab pun tersadar bahwa
tindakannya tak benar. Ia segera beristighfar dan memohon ampun kepada Allah
Swt.. “Benar katamu, Bayan. Tak seharusnya aku memikirkan lelaki lain,”
jawabnya.
Pangeran Tak Berhenti Memikirkan Zainab
Sepanjang hari, pangeran tak berhenti memikirkan Zainab.
Keinginannya untuk memiliki Zainab sangatlah kuat. Karena sudah tak tahan
memendam perasaanya, ia pun bercerita pada dayang tertua yang telah mengasuhnya
selama ini.
“Mak Inang” begitulah ia memanggil pegasuhnya. “Aku ingin
bercerita padamu mengenai perasaanku pada seorang wanita di sebuah desa. Aku
tak bisa berhenti memikirkannya. Rasanya aku ingin memilikinya,” ungkap
pangeran pada pengasuhnya.
“Kalau begitu, nyatakan saja perasaanmu padanya, Tuan.
Apakah Tuan ingin saya temani?” ujar Mak Inang menanggapi cerita pangeran.
“Aku sudah menyatakan perasaanku, Mak. Tapi ditolak, karena
perempuan itu sudah memiliki suami. Apa yang harus kuperbuat, Mak? Aku tak bisa
berhenti memikirkannya. Aku merindukannya. Setiap hari wajahnya muncul dalam
benakku,” jawab pangeran dengan wajah melas.
“Haruskah aku menemui perempuan itu, Tuan? Aku akan
membujuknya agar mau menemui pangeran. Bagaimana?” ujar Mak Inang memberikan
solusi pada pangeran.
“Aku setuju, Mak! Tolonglah aku. Sampaikan padanya bahwa aku
tak sanggup bila harus berhenti memikirkannya,” jawab pangeran.
Ketika sore datang, Mak Inang dan beberapa dayang pergi ke
rumah Zainab. Istri saudagar kaya itu sedang menyapu rumahnya saat Mak Inang
tiba. Ia terkejut karena didatangi oleh utusan dari istana kerajaan.
“Ada perlu apakah utusan raja datang kemari?” tanya Zainab.
“Anakku, kedatanganku kemari atas perintah putra raja. Ia
sedang menaruh hati padamu. Setiap hari, ia selalu membayangkan raut wajahmu.
Maka dari itu, mauhkah kau sekarang pergi ke istana bersamaku? Ia ingin
menemuimu,”
“Mohon maaf, Bu. Bukan bermaksud lancang. Namun, tolong
sampaikan pada putra raja, bila aku menolak tawarannya. Aku telah bersuami, dan
aku takkan mengkhianatinya,” ujar Zainab. Ia tetap teguh pada pendiriannya,
yakni setia pada suaminya.
Karena hari sudah semakin gelap, Mak Inang dan beberapa
dayang pun pamit undur diri. Ia sedih karena tak bisa membantu sang pangeran
untuk membujuk Zainab.
Mengupayakan Segala Cara
Meski telah ditolak untuk kedua kalinya, putra raja masih
memikirkan Zainab. Wajahnya tampak suram. Bahkan, ia juga tak selera makan.
Sepanjang hari yang ia pikirkan hanyalah perempuan cantik itu.
“Mak, tampaknya aku tak bisa melupakan Zainab. Apa lagi yang
harus aku lakukan untuk mendapatkan hatinya?” tanya pangeran yang sedang putus
asa.
“Tuanku, sebenarnya, saya punya satu cara lagi. Tapi, saya
tak yakin Tuan akan melakukannya,” ujar Mak Inang.
“Cara apa itu, Mak? Tolong katakan padaku. Aku rela berbuat
apa pun demi mendapatkan hatinya,” jawab pangeran dengan antusias.
“Bagaimana kalau kita mendatangi ‘orang pintar’ yang tinggal
di seberang desa. Kita buat Zainab agar menyukai Pangeran,” jawab Mak Inang.
Mendengar saran dari Mak Inang, sang pangeran pun merasa
lega. Ia tak sabar ingin membuat Zainab membalas cintanya. “Aku setuju dengan saranmu,
Mak. Ayo kita temui orang yang pintar itu,” ucap pangeran bersemangat.
Keesokan harinya, Mak Inang dan pangeran datang menemui
orang pintar itu. Mak Inang pun menceritakan maksud dan tujuan mereka datang
kemari. Setelah mendengarkan ceritanya, orang pintar itu diam sejenak.
Ia lalu mengatakan bahwa sanggup membantu sang pangeran.
Syaratnya, pangeran harus membaca mantra yang telah orang pintar itu tuliskan
di secarik kertas. Ia harus membacanya terus-terusan selama tiga hari tiga
malam. Bila sudah genap tiga hari, wanita itu akan jatuh hati pada sang
pangeran.
Zainab Tersihir dengan Mantra Pangeran
Genap sudah tiga hari pangeran membaca mantra dari orang
pintar. Ia lalu meminta Mak Inang untuk menemui Zainab. Mak Inang lalu mengajak
beberapa dayang untuk menemui Zainab.
Setibanya di sana, Mak Inang mendapat sambutan hangat dari
Zainab. Istri Khoja Maimun ini tampak sangat bahagia menyambut kedatangan Mak
Inang. “Apakah ini pertanda bahwa Zainab telah tersihir mantra dari pangeran?”
ujar Mak Inang dalam hati.
“Ibu, kenapa kau datang sendirian? Di manakah putra raja?
Aku sangat merindukannya.” ucap Zainab.
“Dia ada di kerajaan, Anakku. Aku kemari juga atas
perintahnya. Ia ingin tahu bagaimana kabarmu. Ia juga memintamu untuk datang
menemuinya di istana bila malam telah tiba,” ucap Mak Inang.
Zainab semakin bahagia mendengar perkataan Mak Inang. Mereka
pun mengobrol dalam waktu yang cukup lama. Saat sore tiba, Mak Inang dan dayang-dayangnya
pamit undur diri.
Seakan lupa dengan suaminya, Zainab pun berbenah diri. Ia
berdandan secantik mungkin untuk menemui pangeran. Ketika malam tiba, ia
bersiap-siap untuk datang ke istana. Sebelum pergi, ia berpamitan pada Bayan.
“Bayan, aku hendak ke istana. Tolong jaga rumah, ya!” ucap
perempuan itu.
Burung yang sakti tersebut tampak geram, “Tuan adalah
seorang perempuan. Sangat tidak pantas seorang perempuan datang menemui
laki-laki. Apalagi ini sudah larut malam. Ingatlah, Allah akan murka dengan
perbuatan Tuan.”
Mendengar ucapan Bayan, Zainab pun termenung. Dalam hati ia
membenarkan perkataan burung itu. Di sisi lain, ia tak kuasa menahan
keinginannya untuk menemui sang pangeran.
“Lantas, apa yang harus aku lakukan, Bayan? Aku tak sanggup
menghapus pangeran dari pikiranku. Aku tak bisa begini terus,” ucap Zainab.
Bayan lalu meminta Zainab untuk tak datang ke istana. Ia
juga memintanya untuk memikirkan perasaan Khoja Maimun yang sedang bekerja di
negeri nan jauh di sana. Tak hanya itu, Bayan juga mengatakan bila Allah Swt.
akan murka bila Zainab mengkhianati suaminya.
Bayan Bercerita Tentang Istri yang Solehah
Zainab termenung mendengar kata Bayan. Ia tak tahu harus
berbuat apa. “Kenapa engkau diam saja, Tuan? Bagaimana kalau hamba bercerita
tentang seorang istri yang salihah?” ucap Bayan.
“Baiklah, Bayan. Ceritakan kisah menarik itu padaku hingga
malam usai. Sehingga aku tak lagi punya keinginan untuk pergi ke istana,” jawab
Zainab. Secara perlahan, Bayan menceritakan kisah tentang istri solehah.
Di sisi lain, pangeran tengah menanti kedatangan Zainab di
istananya yang megah itu. Ia sudah tak sabar menunggu kedatangan pujaan
hatinya. Betapa sedih hatinya ketika wanita yang dicintainya tak kunjung
datang.
Hari pun berganti, suara ayam berkokok terdengar
bersahut-sahutan menandakan bahwa pagi telah datang. Pada akhirnya, Zainab tak
datang ke istana. Ia sangat terpukau dengan cerita dari Bayan.
Putra raja sangat kecewa. Ia tak menyangka bila Zainab bakal
mengingkari janjinya. Hatinya terluka karena ia terlalu berharab Zainab menyukainya.
Akhirnya, ia meminta Mak Inang untuk datang menemui Zainab.
“Mak, tolong datanglah ke rumah perempuan itu. Tanyakan alasannya kemarin ingkar
janji. Sampaikan juga bahwa aku kan menemuinya malam ini. Jadi, mintalah ia
untuk bersiap-siap.”
“Baiklah, Tuan,” jawab
Mak Inang. Setelah itu, ia langsung pergi ke rumah Zainab. Ia
menyampaikan seluruh pesan dari putra raja. Saat wanita tua itu pulang, Zainab
merasa panik.
“Bayan, nanti malam putra raja akan menemuiku di sini. Apa
yang haru aku perbuat?” ungkap Zainab.
“Hmmm, tenang saja, hamba punya akal, Tuan. Nanti, saat
putra raja kemari, sambutlah ia. Hamba punya rencana untuk membuatnya tak lagi
mengejar-ngejar Tuan. Sebelum ia datang, tolong jangan nyalakan lilin ya, Tuan.
Nyalakan bila ia telah masuk ke rumah,” jawab burung budiman itu.
Bayan lalu mencelupkan sebagian sayapnya ke kubangan nila.
Dengan sayap yang basah, ia bertengger di atas pintu Khoja Maimun.
Putra Raja ke Rumah Khoja Maimun
Saat malam tiba, putra raja benar-benar datang menemui
Zainab. Ia bingung kenapa rumahnya sangatlah gelap. Setelah berulang kali
megucap salam, ia membuka pintunya. Seketika itu pula, Bayan mengepakkan
sayapnya, dan meneteslah nila di muka putra raja.
Tak mengira itu adalah setetes nila, diusaplah wajahnya
dengan tangan. Wajah putra raja pun menghitam semua. Zainab lalu datang
menghampiri putra raja.
“Pangeran, kau sudah datang?” tanyanya.
“Iya. Aku datang menepati janjiku. Tapi, kenapa rumah ini gelap
sekali?” ucap putra raja.
Zainab lalu menyalakan lilin. Ia terkejut saat menyaksikan
wajah putra raja yang menghitam seperti seorang perampok. Karena takut, Zainab
pun lari dan bersembunyi.
Putra raja kebingungan. Ia tak mengerti kenapa Zainab
berlari meninggalkannya. Saat itu pula, Bayan menyapa dan menasehati putra
raja.
“Hai putra raja, kau datang kemari sesungguhnya merupakan
perbuatan yang tidak pantas. Kau datang ke rumah perempuan yang tengah
ditinggal suaminya bekerja. Apa yang hendak kau perbuat? Tindakanmu ini bisa
membuat fitnah. Tak ingatkah siapa dirimu? Kau adalah putra seorang raja yang
baik, bijak, dan cinta kepada rakyatnya. Bagaimana bila rakyat mengetahui
kelakuanmu yang tak baik ini,’ ucap Bayan.
Putra raja tak menyangka ada seekor burung bisa berbicara.
Ia pun merasa takut dengan ucapan burung itu. Maka, ia pun berlari keluar dan
kembali ke istana.
Setelah putra raja pergi, Bayan menceritakan kisah seorang
istri durhaka pada Zainab. Tak hanya itu saja, ia juga menceritakan kisah tentang
saudara yang berkhianat.
Tepat di akhir cerita Bayan, dari luar terdengar suara
seorang pria, “Assalamualaikum,” ucapanya sembari membuka pintu.
Zainab sudah tak asing lagi dengan suara itu. “Itu pasti suamiku,”
teriaknya kegirangan.
Benar saja, Khoja Maimun telah pulang. Zainab menyambutnya
dengan senyuman dan pelukan hangat.
Maimun lalu datang menghampiri Bayan. “Terima kasih telah
menjaga istriku, Bayan,” ucapnya sambil mengusap kepala burung itu.
Komentar
Posting Komentar