(Dikutip dari
kumpulan cerpen Kompas)
Lelaki jangkung berwajah terang yang membukakan pintu
terlihat takjub begitu mengenali saya. Pastinya dia sama sekali tidak menyangka
akan kedatangan saya yang tiba-tiba.
Ketika kemudian dengan keramahan
yang tidak dibuat-buat dipersilakannya saya untuk masuk, tanpa ragu-ragu saya
memilih langsung menuju amben di seberang ruangan. Nikmat rasanya duduk di atas
balai-balai bambu beralas tikar pandan itu. Dia pun lalu turut duduk, tapi
pandangannya justru diarahkan ke luar jendela, pada pohon-pohon cengkeh yang
berderet seperti barisan murid kelas kami dahulu saat mengikuti upacara bendera
tiap Isnin. Saya paham, kejutan ini pastilah membuat hatinya diliputi keharuan
yang tidak bisa diungkapkannya dengan kata-kata. Dia butuh untuk
menetralisirnya sebentar.
Dia adalah sahabat masa kecil
terbaik saya. Hampir 25 tahun lalu kami berpisah karena keluarga saya harus
boyongan ke kota tempat kerja Ayah yang baru di luar pulau hingga kembali
beberapa tahun kemudian untuk menetap di kota kabupaten. Itu saya ceritakan
padanya, sekaligus mengucapkan maaf karena sama sekali belum pernah
menyambanginya sejak itu.
”Jadi, apa yang membawamu
kemari?”
”Kenangan.”
”Palsu! Kalau ini hanya soal
kenangan, tidak perlu menunggu 10 tahun setelah keluargamu kembali dan menetap
30 kilometer saja dari sini.”
Saya tersenyum. Hanya sebentar
kecanggungan di antara kami sebelum kata-kata obrolan meluncur seperti
peluru-peluru yang berebutan keluar dari magasin.
Bertemu dengannya, mau tidak mau
mengingatkan kembali pada pengalaman kami dahulu. Pengalaman yang menjadikan
dia, walau tidak setiap waktu, selalu lekat di ingatan saya. Tentu dia
mengingatnya pula, bahkan saya yakin rasa yang diidapnya lebih besar efeknya.
Karena sebagai seorang sahabat, dia jelas jauh lebih tulus dan setia daripada
saya.
Malam itu saya berada di sini,
memperhatikannya belajar. Teplok yang menjadi penerang ruangan diletakkan di
atas meja, hampir mendekat sama sekali dengan wajahnya jika dia menunduk untuk
menulis. Di atas amben, ayahnya santai merokok. Sesekali menyalakan pemantik
jika bara rokok lintingannya soak bertemu potongan besar cengkeh atau kemenyan
yang tidak lembut diirisnya. Ibunya, seorang perempuan yang banyak tertawa,
berada di sudut sembari bekerja memilin sabut-sabut kelapa menjadi tambang.
Saat-saat seperti itu ditambah percakapan-percakapan apa saja yang mungkin
berlaku di antara kami hampir setiap malam saya nikmati. Itu yang membuat
perasaan saya semakin dekat dengan kesahajaan hidup keluarganya.
Selesai belajar, dia menyuruh
saya pulang karena hendak pergi mencari jangkrik. Saya langsung menyatakan
ingin ikut, tapi dia keberatan. Ayah dan ibunya pun melarang. Sering memang
saya mendengar anak-anak beramai- ramai berangkat ke sawah selepas isya untuk
mencari jangkrik. Jangkrik-jangkrik yang diperoleh nantinya dapat dijual atau
hanya sebagai koleksi, ditempatkan di sebuah kotak, lalu sesekali digelitik
dengan lidi atau sehelai ijuk agar berderik lantang. Dari apa yang saya dengar
itu, proses mencarinya sangat mengasyikkan. Sayang, Ayah tidak pernah
membolehkan saya. Tapi malam itu toh saya nekat dan sahabat saya itu akhirnya
tidak kuasa menolak.
”Tidak ganti baju?” tanya saya
heran begitu dia langsung memimpin untuk berangkat. Itu hari Jumat. Seragam
coklat Pramuka yang dikenakannya sejak pagi masih akan terpakai untuk
bersekolah sehari lagi. Saya tahu, dia memang tidak memiliki banyak pakaian
hingga seragam sekolah biasa dipakai kapan saja. Tapi memakainya untuk pergi ke
sawah mencari jangkrik, rasanya sangat-sangat tidak elok.
”Tanggung,” jawabnya.
Sambil menggerutu tidak senang,
saya mengambil alih obor dari tangannya. Kami lalu berjalan sepanjang galengan
besar di areal persawahan beberapa puluh meter setelah melewati kebun dan kolam
gurami di belakang rumahnya. Di kejauhan, terlihat beberapa titik cahaya obor
milik para pencari jangkrik selain kami. Rasa hati jadi tenang. Musim kemarau,
tanah persawahan yang pecah-pecah, gelap yang nyata ditambah angin bersiuran di
areal terbuka memang memberikan sensasi aneh. Saya merasa tidak akan berani
berada di sana sendirian.
Kami turun menyusuri petak-petak
sawah hingga jauh ke barat. Hanya dalam beberapa menit, dua ekor jangkrik telah
didapat dan dimasukkan ke dalam bumbung yang terikat tali rafia di pinggang
sahabat saya itu. Saya mengikuti dengan antusias, tapi sendal jepit menyulitkan
saya karena tanah kering membuatnya berkali-kali terlepas, tersangkut, atau
bahkan terjepit masuk di antara retakan-retakannya. Tunggak batang-batang padi
yang tersisa pun bisa menelusup dan menyakiti telapak kaki. Tapi melihat dia
tenang-tenang saja walaupun tak memakai alas kaki, saya tak mengeluh karena
gengsi.
Rasanya belum terlalu lama kami
berada di sana dan bumbung baru terisi beberapa ekor jangkrik ketika tiba-tiba
angin berubah perangai. Lidah api bergoyang menjilat wajah saya yang tengah
merunduk. Kaget, pantat obor itu justru saya angkat tinggi-tinggi sehingga
minyak mendorong sumbunya terlepas. Api dengan cepat berpindah membakar
punggung saya!
”Berguling! Berguling!” terdengar
teriakannya sembari melepaskan seragam coklatnya untuk dipakai menyabet
punggung saya. Saya menurut dalam kepanikan. Tidak saya rasakan kerasnya tanah
persawahan atau tunggak-tunggak batang padi yang menusuk-nusuk tubuh dan wajah
saat bergulingan. Pikiran saya hanya terfokus pada api dan tak sempat untuk
berpikir bahwa saat itu saya akan bisa mendapat luka yang lebih banyak karena
gerakan itu. Sulit dilukiskan rasa takut yang saya rasakan. Malam yang saya
pikir akan menyenangkan justru berubah menjadi teror yang mencekam!
Ketika akhirnya api padam, saya
rasakan pedih yang luar biasa menjalar dari punggung hingga ke leher. Baju yang
saya kenakan habis sepertiganya, sementara sebagian kainnya yang gosong menyatu
dengan kulit. Sahabat saya itu tanggap melingkupi tubuh saya dengan seragam
coklatnya melihat saya mulai menangis dan menggigil antara kesakitan dan kedinginan.
Lalu dengan suara bergetar, dia mencoba membuat isyarat dengan mulutnya.
Sayang, tidak ada seorang pun yang mendekat dan dia sendiri kemudian mengakui
bahwa kami telah terlalu jauh berjalan. Sadar saya membutuhkan pertolongan
secepatnya, dia menggendong saya di atas punggungnya lalu berlari sembari
membujuk-bujuk saya untuk tetap tenang. Napasnya memburu kelelahan, tapi rasa
tanggung jawab yang besar seperti memberinya kekuatan berlipat. Sayang,
sesampai di rumah bukan lain yang didapatnya kecuali caci maki Ayah dan Ibu.
Pipinya sempat pula kena tampar Ayah yang murka.
Saya langsung dilarikan ke
puskesmas kecamatan. Seragam coklat Pramuka yang melingkupi tubuh saya
disingkirkan entah ke mana oleh mantri. Tidak pernah terlintas di pikiran saya
untuk meminta kepada Ayah agar menggantinya setelah itu. Dari yang saya dengar
selama hampir sebulan tidak masuk sekolah, beberapa kali dia terpaksa membolos
di hari Jumat dan Sabtu karena belum mampu membeli gantinya.
”Salahmu sendiri, tidak minta
ganti,” kata saya selesai kami mengingat kejadian itu.
”Mengajakmu saja sudah sebuah
kesalahan. Aku takut ayahmu bertambah marah nantinya. Ayahku tidak mau
mempermasalahkan tamparan ayahmu, apalagi seragam itu. Dia lebih memilih
membelikan yang baru walaupun harus menunggu beberapa minggu.”
Kami tertawa. Tertawa dan tertawa
seakan-akan seluruh rentetan kejadian yang akhirnya menjadi pengingat abadi
persahabatan kami itu bukanlah sebuah kejadian meloloskan diri dari maut karena
waktu telah menghapus semua kengeriannya.
Dia lalu mengajak saya ke halaman
belakang di mana kami pernah bersama-sama membuat kolam gurami. Kolam itu sudah
tiada, diuruk sejak lama berganti menjadi sebuah gudang tempatnya kini
berkreasi membuat kerajinan dari bambu. Hasil dari tangan terampilnya itu
ditambah pembagian keuntungan sawah garapan milik orang lainlah yang menghidupi
istri dan dua anaknya hingga kini.
Ayah dan ibunya sudah meninggal,
tapi sebuah masalah berat kini menjeratnya. Dia bercerita, sertifikat rumah dan
tanah peninggalan orangtua justru tergadaikan.
”Kakakku itu, masih sama sifatnya
seperti kau mengenalnya dulu. Hanya kini, semakin tua dia semakin tidak tahu
diri.”
”Ulahnya?” Dia mengangguk.
”Kau tahu, rumah dan tanah yang
tidak seberapa luas ini adalah milik kami paling berharga. Tapi aku tidak kuasa
untuk menolak kemauannya mencari pinjaman modal usaha dengan mengagunkan
semuanya. Aku percaya padanya, peduli padanya. Tapi, dia tidak memiliki rasa
yang sama terhadapku. Dia mengkhianati kepercayaanku. Usahanya kandas dan kini
beban berat ada di pundakku.”
Terbayang sosok kakaknya dahulu,
seorang remaja putus sekolah yang selalu menyusahkan orangtua dengan
kenakalan-kenakalannya. Kini setelah beranjak tua, masih pula dia menyusahkan
adik satu-satunya.
”Kami akan bertahan,” katanya
tersenyum saat melepas saya setelah hari beranjak sore. Ada kesungguhan dalam
suaranya.
Sepanjang perjalanan pulang,
pikiran saya tidak pernah lepas dari sahabat saya yang baik itu. Saya malu.
Sebagai sahabat, saya merasa belum pernah berbuat baik padanya. Tidak pula
yakin akan mampu melakukan seperti yang dilakukannya untuk menolong saya di
malam itu. Dia telah membuktikan bahwa keberanian dan rasa tanggung jawab yang
besar bisa timbul dari sebuah persahabatan yang tulus.
Mata saya kemudian melirik
seragam dinas yang tersampir di sandaran jok belakang. Sebagai jaksa yang baru
saja menangani satu kasus perdata, seragam itu belum bisa membuat saya bangga.
Nilainya jelas jauh lebih kecil dibanding nilai persahabatan yang saya dapatkan
dari sebuah seragam coklat Pramuka. Tapi dia tidak tahu, dengan seragam dinas
itu, sayalah yang akan mengeksekusi pengosongan tanah dan rumahnya.
Beri isi aspek moral,kutipan dan penjelasan nya
BalasHapus